Jurnalisme Pemalas Yang Malu Malu Kucing
Inspirasi catatan ini adalah, dua fenomena yang sering kita temukan akhir-akhir ini, pertama, lunturnya idealisme para wartawan yang saya sebut sebagai pendangkalan akidah jurnalistik, dan kedua, sikap malu-malu media tuk mengaku sebagai partisan. Catatan ini terbatas dalam lingkup media konvensional di kalimantan tengah, jika ada kesamaan fenomena di tempat lain, ahh anggaplah itu sebuah kebetulan, apalagi jika ternyata catatan ini tak sesuai pandangan anda, anggaplah ini sebagai sebuah catatan yang ngawur, mungkin memang kita ada pada frame of thinking and field of experience yang berbeda. Tapi santai saja, salah satu ciri tulisan saya adalah tak pernah mengkritik tanpa memberikan alternatif solusi. Bagi saya, solusi harusnya menjadi alasan sebuah kritikan, jika tidak itu namanya kebencian !
Fenomena pemalas pencari berita
Sudah cukup lama sebenarnya penyakit ini di kalangan wartawan, tapi makin menjadi seiring perkembangan teknologi, terutama informasi. Pernah kan, anda temukan ada wartawan yang datang terlambat meliput sebuah peristiwa dan hanya melihat catatan temannya, lalu menyalin, atau hanya mengambil release dan pulang. Ini masih mending, ada juga yang salin-tempel (copy paste), tidak berada di lokasi dan menulis sebuah peristiwa. Ada juga mewancarai narasumber via chat whatsapp atau line dan menjadikan itu headline, tidak dilarang memang, tapi bagaimana dengan unsur autentifikasi dalam berita? bagaimana kita memastikan bahwa yang menjawab pesan messenger itu adalah narasumber yang kita maksud? Bisa jadi istrinya, anaknya, atau bidannya #eh. Sulit bagi reporter menangkap sebuah pesan itu serius, atau bercanda dengan hanya mlototi rangkaian text dalam chat. Sulit juga melihat sisi lain dari sebuah interview tuk menguatkan isi text, misalnya gambaran keyakinan dengan kalimat “kata narasumber sambil mengepalkan tangannya”. Okelah via chat kita akan mendapatkan jawaban terhadap sebuah pertanyaan, tapi bagaimana dengan makna?, kita tidak akan dapat apa-apa, kehadiran wartawan di lokasi, dan kontak fisik dengan narasumber, suatu aktifitas jurnalistik yang tidak mudah tergantikan. Pada tataran ini, beberapa praktek masih bisa ditoleransi, telepon dan videocall misalnya. Pemanfaatan teknologi adalah sebuah keniscayaan dalam dunia jurnalistik, namun menggunakannya tetap harus dengan bijak. Anton Muhajir, Jurnalis lepas dari Bali menganalogikan teknologi itu ibarat belati, baik buruknya tergantung siapa yang memegangnya, di tangan tukang jagal hewan, belati amat membantu pekerjaannya, tapi, di tangan anak kecil, belati bisa sangat berbahaya. Apalagi jika di tangan orang gila!
Bagaimana seharusnya jurnalis bekerja
Sudah terlalu banyak konsep ideal bertebaran dalam bentuk buku, artikel bahkan mata kuliah dalam ruang-ruang akademis tentang bagaimana seharusnya jurnalis menempatkan dirinya. Catatan ini bukan dalam rangka menggurui, lebih tepatnya merefleksi. Banyak wartawan masa kini yang hanya bisa bekerja, tapi jarang memaknai dan mencintai profesinya sebagai sebuah jembatan kristalisasi budaya, dan masa depan sebuah bangsa bisa jadi sangat bergantung bagaimana mereka bersikap. Saya mengutip catatan menarik dari Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, mereka merinci delapan fungsi wartawan dari sisi berbeda, materi ini tidak saya dapatkan saat jaman kuliah jurnalistik dulu, lebih menarik lagi karena buku ini ditulis dalam perspektif sudah adanya media sosial. Kovach dan Rosenstiel melihat sejumlah fungsi yang diminta oleh para konsumen berita dari dunia jurnalisme yakni: Authenticator , Sense Maker , Investigator, Witness Bearer , Empowerer, Smart Aggregator , Forum Organizer, Role Model. Penjelasan tentang masing-masing fungsi ada di website dewan pers, linknya saya sertakan dalam referensi di akhir catatan ini. saya membahas satu unsur saja, Authenticator, konsumen ternyata memerlukan kemapuan wartawan untuk memeriksa keautentikan suatu informasi, mana fakta benar, mana yang dapat diandalkan. Masyarakat saat ini tak melihat wartawan hanya sebagai penyedia informasi, tapi memerlukan wartawan untuk menerangkan bukti dan dasar untuk memahami mengapa suatu informasi bisa dipercaya. Peran authenticator memerlukan keahlian yang lebih canggih dari suatu ruang redaksi, dan itu sebabnya verifikasi menjadi penting. saya masih ingat dulu, setiap ada kejadian kecelakan atau kebakaran, akan ada banyak orang berkerumun dan banyak info simpang siur, saya dan beberapa teman yang memang tidak suka keramaian biasanya tidak ikut2an memperbanyak kerumuman itu tapi memilih menghindar sambil berkata satu dengan yang lainnya, besok aja kita baca koran, mana yang benar hehe, Hey para wartawan, kami butuh kalian untuk mencari tau kebenaran, bukan untuk mencari opini kalian. Sampaikan aja fakta, opini biar kmi yang tentukan. Selain delapan fungsi wartawan itu, Kovach dan Rosenstiel juga memaparkan sepuluh elemen jurnalisme, hal yang harusnya dimaknai oleh siapapun yang memang menjadikan jurnalis sebagai profesinya, yakni : Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran, Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens), Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi, Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput, Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan, Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik, Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan, Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional, Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka, dan warga kian terlibat dalam proses produksi konten jurnalistik melalui interaksi di media digital. Menariknya, pendapat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, bahwa era jurnalisme modern tidak akan lepas dari makin terlibatnya netizen dalam penyajian berita, bahkan penentuan agendanya, ini makin melemahkan teori agenda setting dalam komunikasi massa yang dipopulerkan oleh McCombs dan DL Shaw (1972), saya tidak berani mengatakan bahwa bahwa teori ini akan mati, karena prinsip kepemilikan media seperti yang ada di negara kita, dan latar belakang pemiliknya, masih sangat terbuka untuk hidupnya teorinya ini lebih lama. Okelah, itu urusan para akademisi untuk membedahnya, tapi fungsi wartawan dan elemen jurnalisme diatas sebagai pekerja informasi, wajib menempatkan diri pada posisi itu, menjadi ideal mungkin sulit tapi selalu belajar dan bercermin pada itu akan membuat profesi wartawan makin dihargai. Tak salah jika Leo Batubara, salah satu wartawan senior dan mantan pengurus Dewan Pers, pernah mengatakan, pada akhirnya ‘pemenang pertandingan’ dalam industri media adalah pihak yang taat terhadap kode etik, sepuluh elemen jurnalisme serta delapan fungsi wartawan seperti yang ditulis dalam buku Blur. Ibarat makanan, hanya makanan ori tanpa pengawet dan penyedap rasa yang akan bertahan di masa depan, demikian juga dengan media.
Saatnya mengaku, kita memang partisan
Beberapa waktu lalu, sebuah headline koran besar di Kalteng memuat tentang berita pergantian kepala dinas, pada judul headline ditulis dengan kalimat - era lama ‘ditendang’-, saya lalu membedah isi beritanya (body) dan tidak menemukan satupun data dari narasumber yang mengatakan bahwa kadis yang akan diganti/dimutasi adalah kadis era lama. Ini jelas asumsi atau opini redaksi. Kata ditendang dalam judul headline memang diberi tanda kutip, dan dalam lead sudah dijelaskan bahwa kata itu dibaca dengan kata mutasi, atau yang dimaksud adalah mutasi, hanya ironinya, ilustrasi yang dimuat dalam headline itu bukan ilustrasi yang menguatkan kata -mutasi- sebagai maksud dari inti berita, tapi ilustrasi yang digambarkan dengan kaki menginjak seseorang yg tampak seperti pejabat itu justru menguatkan kata ‘ditendang’ hehe. Fungsi ilustrasi itu menguatkan inti berita, bukan penguatan thd kata dalam tanda kutip yang jelas bukan makna sebenarnya. Oke ini hanya contoh kalau opini atau asumsi kita terlalu banyak bermain dalam sebuah berita. opini dan asumsi dalam dunia junralistik diperbolehkn ada dalam tajuk, advertorial dan kolom opini, sebagai media yang tidak lepas dari kepentingan itu kesempatan dan wajar karna media juga punya agenda, tapi memainkan opini dalam berita itu pelecehan profesi. Media memang partisan, entah itu partisan kelompok politik, partisan golongan, atau partisan kepentingan pemiliknya, tapi main cantik itu wajib, kaidah-kaidah penulisan dan penyajian berita tetap harus dihormati.
Dari mana kita memulainya
Ini selalu menjadi pertanyaan, ketika kita ada dalam sebuah kondisi tidak ideal, “lalu dari mana kita harus mulai untuk memperbaikinya, supaya kondisi ini tidak makin buruk?”. Ada banyak alternatif yang bisa dipilih untuk memulainya, mulai dari proses seleksi wartawan dalam media yang diperketat, ruang-ruang akademis menjadikan itu isu central baik dalam bentuk materi kuliah maupun topik diskusi sbg inkubator jurnalis modern, sampai dengan kontrol warga. Saya lebih memilih alternatif kontrol warga, saatnya warga bereaksi jika merasa media sudah terlalu banyak memainkan opini dalam berita, bukan pada tajuknya. bereaksi dengan cerdas, jika bentuk itu dalam kritikan di media sosial, akan lebih cantik jika suara warga tetap ada dalam satu kanal hashtag (#), khusus untuk kontrol warga, saya akan bahas dalam tulisan berikut, ada banyak aspek yang bisa dikerjakan. Catatan ini hanya ingin membuka pandangan bahwa ada kondisi yang sedang terjadi, ada kondisi ideal yang diharapkan, dan ada alternatif solusi menuju kesana. Menutup catatan ini, saya mengutip kalimat yang pernah diucapkan penulis terkenal Voltaire, “ Opini has caused more trouble in the little earth than plagues and earthquakes”. So, jangan diam, mari bereaksi !
Gambar ilustrasi : http://copypasteproducts.com
Referensi :
- Bill Kovach & Tom Rosenstiel. 2001. The Elements of Journalism. New York: Crown Publishers.
- http://dewanpers.or.id/berita/detail/661/dewan-pers-dan-yayasan-pantau-luncurkan-buku-blur
Fenomena pemalas pencari berita
Sudah cukup lama sebenarnya penyakit ini di kalangan wartawan, tapi makin menjadi seiring perkembangan teknologi, terutama informasi. Pernah kan, anda temukan ada wartawan yang datang terlambat meliput sebuah peristiwa dan hanya melihat catatan temannya, lalu menyalin, atau hanya mengambil release dan pulang. Ini masih mending, ada juga yang salin-tempel (copy paste), tidak berada di lokasi dan menulis sebuah peristiwa. Ada juga mewancarai narasumber via chat whatsapp atau line dan menjadikan itu headline, tidak dilarang memang, tapi bagaimana dengan unsur autentifikasi dalam berita? bagaimana kita memastikan bahwa yang menjawab pesan messenger itu adalah narasumber yang kita maksud? Bisa jadi istrinya, anaknya, atau bidannya #eh. Sulit bagi reporter menangkap sebuah pesan itu serius, atau bercanda dengan hanya mlototi rangkaian text dalam chat. Sulit juga melihat sisi lain dari sebuah interview tuk menguatkan isi text, misalnya gambaran keyakinan dengan kalimat “kata narasumber sambil mengepalkan tangannya”. Okelah via chat kita akan mendapatkan jawaban terhadap sebuah pertanyaan, tapi bagaimana dengan makna?, kita tidak akan dapat apa-apa, kehadiran wartawan di lokasi, dan kontak fisik dengan narasumber, suatu aktifitas jurnalistik yang tidak mudah tergantikan. Pada tataran ini, beberapa praktek masih bisa ditoleransi, telepon dan videocall misalnya. Pemanfaatan teknologi adalah sebuah keniscayaan dalam dunia jurnalistik, namun menggunakannya tetap harus dengan bijak. Anton Muhajir, Jurnalis lepas dari Bali menganalogikan teknologi itu ibarat belati, baik buruknya tergantung siapa yang memegangnya, di tangan tukang jagal hewan, belati amat membantu pekerjaannya, tapi, di tangan anak kecil, belati bisa sangat berbahaya. Apalagi jika di tangan orang gila!
Bagaimana seharusnya jurnalis bekerja
Sudah terlalu banyak konsep ideal bertebaran dalam bentuk buku, artikel bahkan mata kuliah dalam ruang-ruang akademis tentang bagaimana seharusnya jurnalis menempatkan dirinya. Catatan ini bukan dalam rangka menggurui, lebih tepatnya merefleksi. Banyak wartawan masa kini yang hanya bisa bekerja, tapi jarang memaknai dan mencintai profesinya sebagai sebuah jembatan kristalisasi budaya, dan masa depan sebuah bangsa bisa jadi sangat bergantung bagaimana mereka bersikap. Saya mengutip catatan menarik dari Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, mereka merinci delapan fungsi wartawan dari sisi berbeda, materi ini tidak saya dapatkan saat jaman kuliah jurnalistik dulu, lebih menarik lagi karena buku ini ditulis dalam perspektif sudah adanya media sosial. Kovach dan Rosenstiel melihat sejumlah fungsi yang diminta oleh para konsumen berita dari dunia jurnalisme yakni: Authenticator , Sense Maker , Investigator, Witness Bearer , Empowerer, Smart Aggregator , Forum Organizer, Role Model. Penjelasan tentang masing-masing fungsi ada di website dewan pers, linknya saya sertakan dalam referensi di akhir catatan ini. saya membahas satu unsur saja, Authenticator, konsumen ternyata memerlukan kemapuan wartawan untuk memeriksa keautentikan suatu informasi, mana fakta benar, mana yang dapat diandalkan. Masyarakat saat ini tak melihat wartawan hanya sebagai penyedia informasi, tapi memerlukan wartawan untuk menerangkan bukti dan dasar untuk memahami mengapa suatu informasi bisa dipercaya. Peran authenticator memerlukan keahlian yang lebih canggih dari suatu ruang redaksi, dan itu sebabnya verifikasi menjadi penting. saya masih ingat dulu, setiap ada kejadian kecelakan atau kebakaran, akan ada banyak orang berkerumun dan banyak info simpang siur, saya dan beberapa teman yang memang tidak suka keramaian biasanya tidak ikut2an memperbanyak kerumuman itu tapi memilih menghindar sambil berkata satu dengan yang lainnya, besok aja kita baca koran, mana yang benar hehe, Hey para wartawan, kami butuh kalian untuk mencari tau kebenaran, bukan untuk mencari opini kalian. Sampaikan aja fakta, opini biar kmi yang tentukan. Selain delapan fungsi wartawan itu, Kovach dan Rosenstiel juga memaparkan sepuluh elemen jurnalisme, hal yang harusnya dimaknai oleh siapapun yang memang menjadikan jurnalis sebagai profesinya, yakni : Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran, Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens), Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi, Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput, Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan, Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik, Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan, Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional, Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka, dan warga kian terlibat dalam proses produksi konten jurnalistik melalui interaksi di media digital. Menariknya, pendapat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, bahwa era jurnalisme modern tidak akan lepas dari makin terlibatnya netizen dalam penyajian berita, bahkan penentuan agendanya, ini makin melemahkan teori agenda setting dalam komunikasi massa yang dipopulerkan oleh McCombs dan DL Shaw (1972), saya tidak berani mengatakan bahwa bahwa teori ini akan mati, karena prinsip kepemilikan media seperti yang ada di negara kita, dan latar belakang pemiliknya, masih sangat terbuka untuk hidupnya teorinya ini lebih lama. Okelah, itu urusan para akademisi untuk membedahnya, tapi fungsi wartawan dan elemen jurnalisme diatas sebagai pekerja informasi, wajib menempatkan diri pada posisi itu, menjadi ideal mungkin sulit tapi selalu belajar dan bercermin pada itu akan membuat profesi wartawan makin dihargai. Tak salah jika Leo Batubara, salah satu wartawan senior dan mantan pengurus Dewan Pers, pernah mengatakan, pada akhirnya ‘pemenang pertandingan’ dalam industri media adalah pihak yang taat terhadap kode etik, sepuluh elemen jurnalisme serta delapan fungsi wartawan seperti yang ditulis dalam buku Blur. Ibarat makanan, hanya makanan ori tanpa pengawet dan penyedap rasa yang akan bertahan di masa depan, demikian juga dengan media.
Saatnya mengaku, kita memang partisan
Beberapa waktu lalu, sebuah headline koran besar di Kalteng memuat tentang berita pergantian kepala dinas, pada judul headline ditulis dengan kalimat - era lama ‘ditendang’-, saya lalu membedah isi beritanya (body) dan tidak menemukan satupun data dari narasumber yang mengatakan bahwa kadis yang akan diganti/dimutasi adalah kadis era lama. Ini jelas asumsi atau opini redaksi. Kata ditendang dalam judul headline memang diberi tanda kutip, dan dalam lead sudah dijelaskan bahwa kata itu dibaca dengan kata mutasi, atau yang dimaksud adalah mutasi, hanya ironinya, ilustrasi yang dimuat dalam headline itu bukan ilustrasi yang menguatkan kata -mutasi- sebagai maksud dari inti berita, tapi ilustrasi yang digambarkan dengan kaki menginjak seseorang yg tampak seperti pejabat itu justru menguatkan kata ‘ditendang’ hehe. Fungsi ilustrasi itu menguatkan inti berita, bukan penguatan thd kata dalam tanda kutip yang jelas bukan makna sebenarnya. Oke ini hanya contoh kalau opini atau asumsi kita terlalu banyak bermain dalam sebuah berita. opini dan asumsi dalam dunia junralistik diperbolehkn ada dalam tajuk, advertorial dan kolom opini, sebagai media yang tidak lepas dari kepentingan itu kesempatan dan wajar karna media juga punya agenda, tapi memainkan opini dalam berita itu pelecehan profesi. Media memang partisan, entah itu partisan kelompok politik, partisan golongan, atau partisan kepentingan pemiliknya, tapi main cantik itu wajib, kaidah-kaidah penulisan dan penyajian berita tetap harus dihormati.
Dari mana kita memulainya
Ini selalu menjadi pertanyaan, ketika kita ada dalam sebuah kondisi tidak ideal, “lalu dari mana kita harus mulai untuk memperbaikinya, supaya kondisi ini tidak makin buruk?”. Ada banyak alternatif yang bisa dipilih untuk memulainya, mulai dari proses seleksi wartawan dalam media yang diperketat, ruang-ruang akademis menjadikan itu isu central baik dalam bentuk materi kuliah maupun topik diskusi sbg inkubator jurnalis modern, sampai dengan kontrol warga. Saya lebih memilih alternatif kontrol warga, saatnya warga bereaksi jika merasa media sudah terlalu banyak memainkan opini dalam berita, bukan pada tajuknya. bereaksi dengan cerdas, jika bentuk itu dalam kritikan di media sosial, akan lebih cantik jika suara warga tetap ada dalam satu kanal hashtag (#), khusus untuk kontrol warga, saya akan bahas dalam tulisan berikut, ada banyak aspek yang bisa dikerjakan. Catatan ini hanya ingin membuka pandangan bahwa ada kondisi yang sedang terjadi, ada kondisi ideal yang diharapkan, dan ada alternatif solusi menuju kesana. Menutup catatan ini, saya mengutip kalimat yang pernah diucapkan penulis terkenal Voltaire, “ Opini has caused more trouble in the little earth than plagues and earthquakes”. So, jangan diam, mari bereaksi !
Gambar ilustrasi : http://copypasteproducts.com
Referensi :
- Bill Kovach & Tom Rosenstiel. 2001. The Elements of Journalism. New York: Crown Publishers.
- http://dewanpers.or.id/berita/detail/661/dewan-pers-dan-yayasan-pantau-luncurkan-buku-blur